Sejarah suku mongondow di sulawesi

Orang Mongondow sebagian besar mendiami Kabupaten Bolaang Mongondow di Provinsi Sulawesi Utara. Kabupaten yang terdiri atas 15 kecamatan ini dihuni oleh beberapa sub-suku bangsa. Sub-suku bangsanya, Mongondow, Bintauna, Bolaang Itang, Kaidipang, dan Bolaang Uki. Pada zaman dulu kelimanya berbentuk kerajaan-kerajaan kecil.

sejarah-suku-mongondow

Bahasa Suku Mongondow

Bahasa Mongondow memiliki lima dialek dari setiap sub-suku bangsa tersebut di atas. BahasaMongondow menjadi bahasa perantara di antara masyarakat-masyarakat di wilayah ini.

Pemukiman Suku Mongondow

Pemukiman masyarakat ini tersebar baik di dataran rendah maupun di daerah berbukit-bukit. Perumahan mereka umumnya berjajar di sepanjang jalan utama yang membelah desa. Rumah-rumah rakyat biasa disebut baloi, rumah milik golongan bangsawan dan orang kaya lebih besar dan bagus disebut komaliq. Di ladang atau sawah mereka dirikan gubuk sementara yang disebut laiq atau lurung, dan untuk menyimpan hasil panen mereka dirikan bangunan khusus yang disebut langkeang.

Mata Pencaharian Suku Mongondow

Mata pencaharian utama suku bangsa mongondow adalah bertani di sawah dan di ladang, dimana mereka menanam padi, jagung, sayur, ubi-ubian, buah-buahan, pisang, cengkeh, pala dan kelapa. Selain itu, sebagian dari mereka masih senang berburu dan meramu hasil hutan. Di kota-kota banyak pula yang menjadi pedagang hasil bumi, barang kelontong, bahan makanan di samping bekerja sebagai pegawai negeri dan swasta.

Masyarakat Suku Mongondow

Keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya dikenal dengan istilah tongkolaki. Kelompok kekerabatan berupa keluarga luas terbatas mereka sebut tonggobuan, dan yang lebih luas lagi (klan patrilineal) mereka sebut motoadi. Sistem kekerabatan yang berlaku dalammasyarakat Mongondow ini adalah patrilineal.

Pengaruh sistem sosial zaman kerajaan-kerajaan dulu pada masa sekarang terasa dalammasyarakat Mongondow, karena mereka masih mengenal adanya golongan bangsawan yang disebut kinalang dan golongan rakyat biasa yang disebut paloko. Golongan kinalang yang terdiri atas keturunan raja-raja disebut mododatu dan keturunan bangsawan kerajaan disebut kohongian. Golongan paloko sendiri sering pula disebut simpal. Pada zaman dulu di lapisan terbawah dikenal adanya golongan tahiq atau yobuat, yaitu para budak atau hamba sahaya.

Pada zaman kerajaan kekuasaan tertinggi dipegang oleh raja yang disebut dato atau datu. Para pembantu raja disebut jogugu. Bendahara disebut sahada. Kerajaan-kerajaan itu dibagi menjadi beberapa daerah yang dipimpin oleh seorang penghulu atau marsaole. Desa dipimpin oleh seorang kepala desa yang disebut bobato atau sangadi yang dipilih atas kesepakatan masyarakat desa berdasarkan azas senioritas, keahlian dalam adat, pengalaman dan wibawa.

Agama Dan Kepercayaan Orang Mongondow

Pada masa sekarang orang Mongondow kebanyakan memeluk agama Kristen, walaupun begitu beberapa kelompok masih percaya kepada sistem kepercayaan warisan nenek moyang mereka.

Referensi : Kaudern 1937, Kalangie 1983, Depdikbud 1977

Yuk Baca yang lain:

Sejarah suku melayu riau

Ras Melayu datang pertama kali ke daerah Riau sekitar tahun 2.500 SM. Mereka datang dari daratan Asia bagian tengah dan menyeberang dari Semenanjung Malaysia. Gelombang kedatangan kedua terjadi pada tahun 1.500 SM, dan gelombang kedatangan ketiga sekitar tahun 300 SM. Suku bangsa Melayu di daerah Riau adalah salah satu keturunan para migran dari daratan Asia tersebut. Dalam sejarah kebudayaannya mereka juga telah mengalami beberapa pengaruh peradaban, seperti Hindu, Islam, dan juga peradaban Cina dan Barat (Belanda, Inggris  dan Portugis).

Pada abad-abad yang dulu mereka sempat mempunyai beberapa kerajaan, seperti Kesultanan Bintan atau Tumasik, Kandis atau Kuantan, Gasib atau Siak, Kriteng atau Inderagin, Lingga, Malaka, Rokan, Siak Sri Inderapura, Kampar, Pelalawan dan Singingi. Pada masa sekarang populasi mereka diperkirakan berjumlah sekitar 1 juta jiwa, tersebar terutama di Provinsi Riau maupun kepulauannya dan disekitar daerah aliran sungai-sungai besar di daratan Sumatera bagian Timur.

sejarah-suku-melayu-riau

Bahasa Melayu Riau

Bahasa Melayu ini tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia sekarang, malah dianggap sebagai salah satu dasar bahasa Indonesia. Disebut juga bahasa Melayu Tinggi, karena awalnya digunakan sebagai bahasa sastra oleh masyarakat Indonesia pada akhir abad yang lalu. Sebelum mengenal tulisan latin, masyarakat ini menuliskan gagasan mereka dalam tulisan arab-melayu atau arab gundul.

Mata Pencaharian Suku Melayu Riau

Orang Melayu di Riau ini amat sedikit yang bertanam padi di sawah, karena keadaan alamnya yang tidak memungkinkan untuk itu, namun sebagian kecil ada juga yang berladang. Pada masa dulu mungkin mereka lebih mengandalkan mata pencaharian mengolah sagu, mengumpulkan hasil hutan, menangkap ikan, berladang dan berdagang. Tanaman mereka biasanya padi ladang, ubi, sayuran dan buah-buahan. Kemudian mereka juga menanam tanaman keras yang sempat melambung harganya yaitu karet.


Sebagai masyarakat yang berdiam di wilayah perairan mereka juga banyak mengembangkan alat transportasi di laut, seperti lancang (perahu layar dua tiang dengan sebuah pondok di atasnya), penjajab (kapal kayu penjelajah), jung (perahu layar kecil), sampan balang (perahu layar kecil untuk menangkap ikan). Untuk di sungai mereka menggunakan sampan kolek, sampan kotak dan belukang, ketiganya tergolong perahu lesung yang ramping bentuknya. Kemudian ada pula yang disebut perahu jalur, yaitu perahu panjang yang digunakan untuk berlomba di sungai.

Masyarakat Melayu Riau

Setiap keluarga inti berdiam di rumah sendiri, kecuali pasangan baru yang biasanya lebih suka menumpang di rumah pihak isteri sampai mereka punya anak pertama. Karena itu pola menetap mereka boleh dikatakan neolokal. Keluarga inti yang mereka sebut kelamin umumnya mendirikan rumah di lingkungan tempat tinggal pihak isteri. Prinsip garis keturunan atau kekerabatan lebih cenderung parental atau bilateral.

Hubungan kekerabatan dilakukan dengan kata sapaan yang khas. Anak pertama dipanggil long, anak kedua ngah, dibawahnya dipanggil cik, yang bungsu dipanggil cu atau ucu. Biasanya panggilan itu ditambah dengan menyebutkan ciri-ciri fisik orang yang bersangkutan, misalnya cik itam jika cik itu orang hitam, ngah utih jika Ngah itu orangnya putih, cu andak jika Ucu itu orangnya pendek, cik unggal jika si buyung itu anak tunggal dan sebagainya.

Pada masa dulu orang Melayu juga hidup mengelompok menurut asal keturunan yang mereka sebut suku. Kelompok keturunan ini memakai garis hubungan kekerabatan yang patrilineal sufatnya. Tetapi orang Melayu Riau yang tinggal di daratan Sumatera dan dekat dengan Minangkabau sebagian menganut faham suku yang matrilineal. Ada pula yang menyebut suku dengan hinduk (induk atau cikal bakal). Setiap suku dipimpin oleh seorang penghulu. Kalau suku itu berdiam di sebuah kampung maka penghulu langsung pula menjadi Datuk Penghulu Kampung (Kepala Kampung). Setiap penghulu dibantu pula oleh beberapa tokoh seperti batin, jenang, tua-tua dan monti. Di bidang keagamaan dikenal pemimpin seperti imam dan khotib.


Pelapisan sosial dalam kehidupan masyarakat Melayu Riau ini tidak lagi tajam seperti di zaman kesultanan dulu. Walaupun begitu masih ada golongan-golongan tertentu yang dianggap mempunyai ciri keturunan sendiri, misalnya golongan bangsawan yang terdiri dari keturunan sultan dan raja, golongan datuk-datuk kepala suku, atau penghulu kepala kampung, kemudian ada lagi golongan pemuka masyarakat yang disebut cerdik pandai, orang tua-tua, golongan ulama dan orang-orang kaya.

Kesenian Suku Melayu Riau

Kesenian orang Melayu Riau kebanyakan bernafaskan budaya Islam. Disini berkembang seni sastra keagamaan yang dinyanyikan pula dengan iringan musik rebana, berdah, kerompang atau kompang dan sebagainya. Tari-tarian Melayu pernah populer pada awal kemerdekaan Indonesia. Di lingkungan masyarakat ini pernah pula lahir teater rakyat seperti mak yong, dul muluk, dan mendu. Musik Melayu dianggap sebagai dasar dari perkembangan musik dangdut yang populer sekarang.

Agama Dan Kepercayaan Suku Melayu Riau

Masyarakat Melayu Riau memeluk agama Islam sejak abad kesebelas Masehi. Tetapi dalam masyarakat ini juga masih dapat ditemui tokoh-tokoh yang menguasai ilmu gaib dan keyakinan animistis yang disebut bomo (dukun). Mereka percaya bahwa ada makhluk-makhluk halus yang bisa berubah wujud menjadi buaya putih, gajah memo, ular bidai, harimau tengkis dan lain-lain.

Referensi : Depdikbud 1977/1978, Loeb 1972

Yuk Baca yang lain:

Kebudayaan suku Muna

Suku Muna merupakan suku asli dari Sulawesi Tenggara yang mendiami sebagian besar Pulau Muna dan bagian sekitarnya. Dengan ciri khas warna kulit coklat dan rambut keriting menjadikan suku Muna mudah dikenali. Sementara itu mata pencaharian utama dari Suku Muna itu sendiri ialah sebagai nelayan dan sebagian kecil menjadi petani.

Adat Istiadat Suku Muna

adat-kariya

Salah satu dari adat istiadat Suku Muna ialah Kariya (pingitan). Kariya adalah upacara adat bagi masyarakat muna yang pertama diadakan pada masa pemerintahan Raja La Ode Husein yang bergelar "omputo sangia" terhadap putrinya yang bernama Wa Ode Kamomo Kamba. Menurut kaidah bahasa muna kariya berasal dari kata "kari" yang artinya sikat atau pembersih, dan penuh atau sesak misalnya mengisi sebuah keranjang dengan suatu benda atau barang sampai penuh sehingga dalam bahasa muna disebut nokari (sesak).

Pemaknaan dari simbolis nokari atau penuh bahwa perempuan yang di kariya telah penuh pemahamannya terhadap materi yang disampaikan oleh pemangku adat atau tokoh agama, khususnya yang berkaitan dengan seluk beluk kehidupan berumah tangga. Sedangkan makna secara konkrit bahwa kata kariya (Muna) berarti rebut atau keributan adalah ramai atau keramaian. Dalam acara kariya dimana sang gadis (kalambe) selama empat hari empat malam ditempatkan dalam sebuah tempat tertutup (sangi atau sua). Untuk menghilangkan rasa stres para gadis (kalambe) dalam tempat tersebut maka diselingi dengan acara-acara lain yaitu rambi wuna, rambi padangga (rambi bajo), mangaro yaitu acara sandiwara perkelahian. Selama para gadis (kalambe) dalam songi acara rambi wuna, rambi padangga, dan mangaro senantiasa di demonstrasikan oleh orang-orang atau golongan yang telah dipilij dan ditetapkan secara adat.

Harfiah dari kariya (keributan atau keramaian) benar adanya, karena pandangan mata dan pendengaran selama proses pelaksanaan kariya 4 hari 4 malam senantiasa dirayakan dengan acara pukul gong (rambi) dan mangaro. Ini disimbolkan bahwa jenis rambi (pukul gong) seperti bersifat ajakan bagi setiap orang yang mendengarnya untuk hadir di tempat (lokasi) pelaksanaan upacara agar suasana senantiasa ramai dan semua orang ikut berkumpul yang kemudian ditetapkan secara adat untuk melakukan demonstrasi rambi (pukul gong).

Padangga adalah merupakan ciri khas yang dapat memberi isyarat kepada semua orang yang menyaksikan upacara tersebut sebagai suasana kekerabatan sehingga walaupun orang jauh datang beramai-ramai di tempat itu. Proses ini dilakukan dengan harapan bahwa seorang wanita ketika telah diisyarati dengan ritual kariya maka dianggap lengkaplah proses pembersihan diri secara hakiki. Kepercayaan masyarakat muna bahwa upacara ritual kariya menjadi kewajiban bagi setiap orang tua yang memiliki anak perempuan, karena itu proses pembersihan diri melalui ritual kariya menjadi tanggung jawab orang tua. Dalam kaitannya dengan konsepsi keagamaan bahwa kariya merupakan proses yang berkepanjangan yang diawali dengan kangkilo (sunat), katoba (pengislaman), hingga sampai pada pelaksanaan upacara kariya.

Kesenian Suku Muna

Tari-Ntiarasino

Tari Ntiarasino merupakan salah satu tarian atau kesenian asli Suku Muna. Menurut bahasa sastra Muna, Ntiarasino artinya yang dipuja. Ntiarasino merupakan ungkapan bahasa sastra Muna kepada orang yang menjadi patriot pejuang pembela tanah air dan juga ungkapan rasa haru mereka yang sangat mendalam. Karena gembiranya para gadis-gadis menyambut dengan mempersembahkan tari yang dibawakan oleh 6 orang putra putri dengan menggunakan perisai dan tombak.

Makanan Khas Suku Muna

kaparende-makanan-khas-suku-muna

Bagi yang bukan orang Muna pasti bertanya-tanya “apa sih Kaparende itu?” Kaparende sebenarnya adalah cara mengolah makanan. Biasanya yang dijadikan kaparende adalah ikan dan daging ayam. Untuk kaparende ayam, bumbunya adalah garam dan dan kedondong sebagai penambah rasa  asam. Cara memasaknya sangatlah sederhana hanya menuangkan air putih dan mencampur adukan garam dan daun kedondong. Sebelumnya, daun kedondong diremas bersama garam baru kemudian dituangkan air. Untuk menambah keunikan rasa, dapat digunakan penyedap rasa. Namun, pada umumnya tanpa penyedap rasa pun, kaparende tersebut dapat menghasilkan rasa yang pas di lidah. Hampir sama dengan daging ayam, kaperende ikan juga menggunakan daun kedondong sebagai penambah rasa asam.   Namun,   jika   tidak   ada   buah   atau   daun   asam   bisa   menjadi   penggantinya. Kaparende ayam biasanya disuguhkan dengan ketupat ataupun lapa-lapa (sejenis lontong yang dibuat menggunakan campuran beras merah + air santan yang dibungkus dengan janur kemudian diikat menggunakan janur kering). Suguhan ini banyak dijumpai pada awal puasa atau pada hari raya.

Dikutip dari Berbagai Sumber.

Yuk Baca yang lain:

Sejarah suku ambon di maluku

Suku bangsa Ambon mendiami Pulau Ambon, Hitu dan Saparua, Provinsi Maluku. Sebenarnya mereka berasal dari Pulau Seram seperti halnya dengan suku-suku bangsa lain yang lebih dulu mendiami pulau-pulau di Maluku Tengah.
sejarah-suku-ambon

Bahasa Suku Ambon

Bahasa Ambon sendiri merupakan perkembangan dari bahasa asli yang dipengaruhi oleh bahasa Melayu. Ada juga yang menyebut bahasa Ambon sebagai bahasa Melayu Ambon atau Nusalaut. Pemakai bahasa ini sekarang berjumlah sekitar 100.000 jiwa, belum termasuk yang berada di Negeri Belanda. Melihat daerah pemakaiannya bahasa Ambon dibagi ke dalam dialek-dialek : Nusalaut, Saparua, Haruku, Hila, Asilulu, Hatu, Wakasihu, dan lain-lain. Sekarang bahasa Ambon menjadi bahasa pengantar bagi masyarakat yang berbeda-beda suku bangsa di daerah Provinsi Maluku.

Mata Pencaharian Utama Suku Ambon

Pada dasarnya mata pencaharian utama orang Ambon adalah bercocok tanam di ladang dengan tanaman pokok padi, jagung, ubi jalar, ubi kayu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, kelapa, kopi, cengkeh, tembakau dan buah-buahan. Sementara itu sagu masih dianggap sebagai makanan pokok. Bahan makanan itu dulu mudah didapat di hutan-hutan, karena tumbuh secara liar. Sekarang tanaman sagu sudah dibudidayakan dengan jalan menanamnya secara teratur seperti menanam pohon kelapa. Selain bertani masyarakat ini suka pula menangkap ikan di perairan sekitar pulau-pulau mereka yang memang kaya dengan hasil laut. Dalam hal pendidikan formal orang Ambon sudah sejak zaman Belanda banyak bersekolah dan memilih pekerjaan sebagai pegawai negeri dan tentara.

Kekerabatan Dan Kekeluargaan Dalam Suku Ambon

Orang Ambon menghitung hubungan kekerabatan melalui garis keturunan pihak ayah (patrilineal), dan pola menetap setelah kawin adalah di lingkungan pihak ayah (patrilokal). Kesatuan kekerabatan yang terpenting adalah matarumah (keluarga batih) yaitu sebuah kesatuan keluarga  yang terdiri dari satu keluarga inti senior dan keluarga-keluarga inti junior dari garis keturunan laki-laki.

Pada tingkat yang lebih luas lagi mereka mengenal bentuk kesatuan kekerabatan berupa keluarga luas terbatas yang disebut soa. Pada masa sekarang istilah soa ini sering mereka kacaukan dengan istilah fam (family, dari bahasa Belanda). Masyarakat Ambon menyebut desa-desa mereka negeri. Kesatuan hidup setempat ini dipimpin oleh seorang kepala Negeri yang lebih sering digelari bapa raja, kebetulan kedudukan ini memang dimiliki secara turun-temurun oleh matarumah dari soa yang paling senior dalam desa tersebut.

Dalam kedudukannya seorang Bapa Raja dibantu oleh suatu lembaga adat yang disebut saniri negeri. Lembaga ini ada beberapa macam. Pertama Saniri raja putih yang terdiri atas raja dan para kepala soa saja. Kedua, saniri negeri lengkap yang terdiri atas raja dan para kepala soa dan para kepala adat. Ketiga, saniri negeri besar yang terdiri atas raja, para kepala soa, kepala adat dan kepala matarumah atau warga masyrakat yang sudah dewasa. Bapa Raja mempunyai tangan kanan yang disebut marinyo (pesuruh). Pada zaman dulu antara satu negeri dengan negeri lain ada yang tergabung ke dalam ikatan adat yang disebut pela, dimana mereka tidak boleh saling menyerang, malahan harus membantu jika salah satu diserang musuh. Masa sekarang ikatan adat pela ini diwujudkan dalam bentuk kerja sama sosial antar desa.

Agama Dan Kepercayaan Suku Ambon

Sekarang orang Ambon sudah memeluk agama Islam atau Kristen. Jumlah pemeluk agama Islam sedikit lebih banyak, dan mereka umumnya lebih terampil dalam bidang perdagangan dan ekonomi umumnya. Sedangkan orang Ambon pemeluk agama Kristen lebih banyak memilih pekerjaan sebagai pegawai negeri, guru, dan tentara. Namun kehidupannya sehari-hari mereka masih menjalankan kegiatan adat tertentu dari kebudayaan lama, dan menjadi salah satu identitas kesukubangsaan yang menonjol, seperti mengadakan upacara Nae Baileu atau upacara Cuci Negeri yang merupakan warisan kepercayaan nenek moyang mereka. Dalam menangani masalah kematian dan pelaksanaan upacaranya mereka selesaikan lewat kesatuan sosial adat yang disebut mubabet.

Nae Baileu adalah sebuah upacara yang bersifat "cuci negeri" yang ditemukan pada msayarakat adat di negeri-negeri Ambon umumnya. Upacara ini berpusat di sebuah balai adat yang mereka sebut baileu. Pada zaman dulu balai adat ini digunakan untuk tempat musyawarah adat dan pelaksanaan upacara religi. Tujuan utama upacara Nae Baileu selain untuk menjauhkan unsur-unsur buruk dari negeri, meminta berkat dan perlindungan kepada roh kakek moyang, juga untuk memperkuat kembali ikatan sosial yang damai antara semua soa yang ada dalam negeri itu.

Menurut terbentuknya sebuah komunitas negeri, negeri itu dibuka pertama kali oleh soa-soa yang digolongkan ke dalam kelompok soa hitam. Biasanya orang-orang dari kelompok soa hitam inilah yang dianggap berhak menjadi raja, sekaligus menjadi tuan tanah yang menentukan tanah mana saja yang boleh digarap oleh soa-soa yang datang kemudian. Menerima soa baru sebagai anggota pada masa dulu diperlukan, terutama untuk menambah kekuatan laskar dalam rangka peperangan antar negeri yang lazim terjadi pada waktu itu. Sekarang upacara Nae Baileu sudah banyak dipengaruhi oleh agama Islam atau Kristen, sesuai dengan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk sebuah negeri.

Pada zaman Belanda kota Ambon ramai dikunjungi oleh berbagai bangsa dan suku bangsa, sehingga muncullah beberapa istilah penunjuk kelompok pendatang, seperti Tuni, Moni, Mahu, dan Wahan. Tuni adalah istilah untuk menyebut suku-suku bangsa yang berasal dari pulau seram (nunusaku). Pulau seram sering pula disebut Nusa Ina, karena sebagian besar suku bangsa yang tersebar di kepulauan Maluku Tengah dianggap berasal dari pulai ini. Moni adalah istilah untuk menyebut suku-suku bangsa dari daerah sekitar Lautan Pasifik (Papuan dan Melanesian). Mahu dipakai untuk menyebut suku-suku bangsa yang berasal dari Indonesia bagian barat, seperti orang bugis, Makassar, Buton, Minangkabau, dan Jawa. Sementara itu Wahan adalah sebutan untuk menyebut suku-suku bangsa yang berasal dari pulau-pulau sekitar Ambon, seperti orang ternate, Banda, Buru.

Yuk Baca yang lain:

Adat Perkawinan Suku Bugis-Makassar

Appa’bunting dalam bahasa Makassar berarti melaksanakan upacara perkawinan. Sementara itu, istilah perkawinan dalam bahasa bugis disebut siala yang berarti saling mengambil satu sama lain. Dengan demikian perkawinan adalah ikatan timbale balik antara dua insan yang berlainan jenis kelamin untuk menjalin sebuah kemitraan. Istilah perkawinan dapat juga disebut siabbineng dari kata bine yang berarti benih padi. Dalam tata bahasa bugis, kata bine jika mendapat awalan “ma” menjadi mabbine berarti menanam benih. Kata bine atau mabbine ini memiliki kedekatan bunyi dan makna dengan kata baine (istri) atau mabbaine (beristri). Maka dalam konteks ini, kata siabbineng mengandung makna menanam benih dalam kehidupan rumah tangga.

adat-suku-bugis

Menurut pandangan orang Bugis-Makassar, perkawinan bukan sekedar menyatukan dua mempelai dalam hubungan suami istri, tetapi perkawinan merupakan suatu upacara yang bertujuan untuk menyatukan dua keluarga besar yang telah terjalin sebelumnya menjadi semakin erat atau dalam istilah orang Bugis disebut mappasideppemabelae atau mendekatkan yang sudah jauh. Oleh  karena itu, perkawinan di kalangan masyarakat Bugis umumnya berlangsung antar keluarga dekat atau antar kelompok patronasi (endogami), terutama di kalangan masyarakat biasa, karena mereka sudah saling memahami sebelumnya.

Keterlibatan orang tua dan kerabat dalam pelaksanaan pesta perkawinan tidak dapat diabaikan. Mereka tetap memegang peranan sebagai penentu dan pelaksana dalam perkawinan anak-anaknya, plilhan pasangan hidup bukanlah urusan pribadi, namum merupakan urusan keluarga dan kerabat. Untuk itulah, perkawinan perlu dilakukan secara sungguh-sungguh menurut agama dan adat yang berlaku di dalam masyarakat. Alasan lain orang Bugis-Makassar harus mengadakan pesta perkawinan adalah karena hal tersebut sangat berkaitan dengan status sosial mereka dalam masyarakat. Semakin meriah sebuah pesta, semakin mempertinggi status sosial seseorang.

Tahapan-Tahapan Adat Perkawinan Suku Bugis Makassar

  • A’jagang-jagang/Ma’manu-manu : penyelidikan secara diam-diam oleh pihak calon mempelai pria untuk mengetahui latar belakang pihak calon mempelai wanita.
  • A’suro/Massuro : Acara ini merupakan pinangan secara resmi pihak calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita. Dahulu, proses meminang bisa dilakukan beberapa fase dan bisa berlangsung berbulan-bulan untuk mencapai kesepakatan.
  • Appa’nasa/Patenre : Ada usai acara pinangan, dilakukan appa’nasa/patenre ada yaitu menentukan hari pernikahan. Selain penentuan hari pernikahan. Selain penentuan hari pernikahan, juga disepakati besarnya mas kawin dan uang belanja. Besarnya mas kawin dan uang belanja ditentukan menurut golongan atau strata sosial sang gadis dan kesanggupan pihak keluarga pria.
  • Appanai Leko Lompo (Erang-erang) : Setelah pinangan diterima secara resmi, maka dilakukan pertunangan yang disebut A’bayuang yaitu ketika pihak keluarga lelaki mengantarkan passio/passiko atau pattere ada (bugis). Hal ini dianggap sebagai pengikat dan biasanya berupa cincin. Prosesi mengantarkan pasio diiringi dengan mengantar daun sirih pinang yang disebut Leko Caddi. Namun karena pertimbangan waktu, sekarang acara ini dilakukan bersamaan dengan acara Patenre Ada atau Appa’nasa.
  • A’barumbung (mappesau) : Acara mandi uap yang dilakukan oleh calon mempelai wanita.
  • Appasili Bunting (Cemme Mapepaccing) : Kegiatan tata upacara ini terdiri dari appasili bunting, a’bubu, dan appakanre bunting. Prosesi appasili bunting ini hampir mirip dengan siraman dalam tradisi pernikahan Jawa. Acara ini dimaksudkan sebagai pembersihan diri lahir dan batin.
  • A’bu’bu : Setelah berganti pakaian, calon mempelai selanjutnya didudukkan di depan pelaminan dengan berbusana Baju bodo, tope (sarung pengantin), serta assesories lainnya. Prosesi acara a’bu’bu (maceko) dimulai dengan membersihkan rambut atau bulu-bulu halus yang terdapat di ubun-ubun atau alis, acara ini dilakukan oleh Anrong Bunting (penata rias), yang bertujuan memudahkan dalam merias pengantin wanita, dan supaya hiasan hitam pada dahi yang dikenakan calon mempelai wanita dapat melekat dengan baik.
  • Appakanre Bunting : Menyuapai calon mempelai dengan makan berupa kue-kue khas tradisional Makassar, seperti Bayao Nibalu, Cucuru’ Bayao, Sirikaya, Onde-onde, Bolu peca, dan lain-lain yang telah disiapkan dan ditempatkan dalam suatu wadah besar yang disebut Bosara Lompo.
  • Akkorontigi : Sehari menjelang pesta pernikahan, rumah calon mempelai wanita telah ditata dan dihiasi sedemikian rupa dengan dekorasi khas Makassar. Acara Akkorontigi merupakan suatu rangkaian acara yang sacral yang dihadiri oleh seluruh sanak keluarga (famili) dan undangan.
  • Assimorong/Menre’kawing : Acara ini merupakan acara akad nikah dan menjadi puncak dari rangkaian upacara pernikahan adat Bugis-Makassar. Calon mempelai pria diantar ke rumah calon mempelai wanita yang disebut Simorong (Makassar) atau Menre’kawing (Bugis).
  • Appabajikang Bunting : Prosesi ini merupakan prosesi menyatukan kedua mempelai. Setelah akad nikah selesai, mempelai pria diantar ke kamar mempelai wanita. Dalam tradisi bugis-makassar, pintu menuju kamar mempelai wanita biasanya terkunci rapat. Kemudian terjadi dialog singkat antara pengantar mempelai pria dengan penjaga pintu kamar mempelai wanita. Setelah mempelai pria diizinkan masuk, kemudian diadakan acara Mappasikarawa (saling menyentuh). Sesudah itu, kedua mempelai bersanding di atas tempat tidur untuk mengikuti beberapa acara seperti pemasangan sarung sebanyak tujuh lembar yang dipandu oleh indo botting (pemandu adat). Hal ini mengandung makna mempelai pria sudah diterima oleh keluarga mempelai wanita.
  • Alleka bunting (maolla) : Acara ini sering disebut sebagai acara ngunduh mantu. Sehari sesudah pesta pernikahan, mempelai wanita ditemani beberapa orang anggota keluarga diantar ke rumah orang tua mempelai pria. rombongan ini membawa beberapa hadiah sebagai balasan untuk mempelai pria. mempelai wanita membawa sarung untuk orang tua mempelai pria dan saudara-saudaranya. Acara ini disebut Makkasiwiang.
Referensi : Search Google 

Yuk Baca yang lain:

Kebudayaan Buton

Kebudayaan Suku Buton

Suku Dunia ~ Suku Buton merupakan suku asli daerah Provinsi Sulawesi Tenggara khususnya di Pulau Buton. Suku Buton juga tersebar di beberapa daerah Sulawesi Tenggara misalnya di Kota Kendari, Kabupaten Bombana dan daerah-daerah lainnya. Beberapa pendapat menyatakan bahwa nenek moyang dari orang-orang Buton adalah “imigran” yang datang dari wilayah Johor sekitar abad ke-15 Masehi yang kemudian mendirikan kerajaan Buton. Pada tahun 1960, dengan mangkatnya sultan yang terakhir, kesultanan Buton konon “dibubarkan” tetapi tradisi-tradisi istana itu telah melekat erat pada orang-orang yang mendiami wilayah tersebut.

Adat Istiadat Suku Buton

Adat suku Buton ada beberapa macam salah satu diantaranya ialah Tandaki atau Posusu, yaitu upacara yang berkaitan dengan penyunatan (tandaki bagi anak laki-laki) dan posusu(bagi anak perempuan). Upacara tandaki di peruntukan bagi anak laki-laki yang telah masuk aqil baliq, yang melambangkan bahwa anak laki-laki tersebut berkewajiban untuk melaksanakan segala perintah dan larangan yang diajarkan dalam Agama Islam. Posusu adalah upacara khitanan bagi anak perempuan sebagaimana tandaki bagi anak laki-laki. Pada posusu biasanya di barengi dengan mentindik (melubangi daun telinga) sebagai tempat pemasangan anting-anting. Tandaki dan Posusu biasanya di lakukan 1 hari sebelum pelaksanaan Idul fitri maupun idul adha.

Pakaian Adat Suku Buton


Pakaian Balahadada merupakan pakaian kebesaran yang dikenakan oleh kaum laki-laki Buton baik bagi seorang bangsawan maupun bukan bangsawan. Pakaian dengan warna dasar hitam ini dijadikan sebagai perlambang keterbukaan pejabat atau sultan terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan masyarakat demi pencapaian kesejahteraan dan kebenaran hukum yang diputuskan dengan jalan musyawarah untuk mufakat. Kelengkapan pakaian Balahada terdiri atas destar, baju, celana, sarung, ikat pinggang, keris, dan bio ogena atau sarung besar yang dihiasi dengan pasamani diseluruh pinggirannya. Bukan hanya Balahadada saja yang diketahui sebagai pakaian adat Suku Buton dan diketahui juga ada beberapa macam pakaian adat Suku Buton misalnya pakaian Ajo Bantea, Ajo Tandaki, Pakeana Syara, Kambowa, Kaboroko, dan Kombo.

Rumah Adat Suku Buton


Banua tada merupakan rumah tempat tinggal suku  Buton di Pulau Buton. Kata banua dalam bahasa setempat berarti rumah sedangkan kata tada berarti siku. Jadi, banua tada dapat diartikan sebagai rumah siku. Berdasarkan status sosial penghuninya, struktur bangunan rumah ini dibedakan menjadi tiga yaitu kamali, banua tada tare pata pale, dan banua tada tare talu pale. Kamali atau yang lebih dikenal dengan nama malige berarti mahligai atau istana, yaitu tempat tinggal raja atau sultan dan keluarganya.

Peninggalan Suku Buton


Benteng Keraton Buton adalah bekas peninggalan Kesultanan Wolio/Buton dan biasa disebut dengan Benteng Keraton Wolio. Benteng buton berada di Pulau Buton (Kota Bau-Bau) secara geografis merupakan kawasan timur jazirah tenggara pulau Celebes/Sulawesi. Benteng Keraton Buton yang aslinya disebut Keraton Wolio dibangun pada masa pemerintahan Sultan Buton VI (1632-1645), bernama Gafurul Wadudu. Benteng yang berbentuk lingkaran ini panjang kelilingnya sekitar 2.740 meter. Benteng Keraton Buton mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) dan Guiness Book Record yang dikeluarkan bulan september 2006 sebagai benteng terluas di dunia dengan luas sekitar 23,375 hektare. Benteng Keraton Buton ini menjadi salah satu objek wisata bersejarah di Bau-bau, Sulawesi Tenggara. Benteng ini merupakan bekas ibukota Kesultanan Buton.

Kesenian Suku Buton

Salah satu kesenian dari Suku Buton yang paling terkenak ialah Tari Kalegoa. Tari Kalegoa merupakan salah satu jenis tarian yang dilakukan oleh gadis-gadis di Buton dengan spesifikasi berupa Gerakan memakai sapu tangan. Tarian berasal dari Kelurahan Melai Kecamatan Betoambari sekitar 3 km dari pusat Kota Bau-Bau.

Makanan Khas Suku Buton


Kasoami (soami) adalah makanan khas sulawesi tenggara yang terbuat dari ubi. Proses pembuatannya bagi sudah terbiasa tentu tidak sulit. Tapi bagi pemula tentu memerlukan kesabaran dalam proses pembuatannya. Kasoami sangat enak bila dinikmati dengan ikan asin. Cara membuatnya, ubi yang sudah dibersihkan diparut. Setelah itu ubi diperas. Biasanya proses ini memerlukan peralatan khusus untuk memerasnya. Peralatan ini intinya berfungsi untuk bagaimana agar ubi yang diperas itu cepat kering. Setelah dipastikan ubi sudah kering maka proses berikutnya adalah pekerjaan pengukusan. Media pengukusan biasanya terbuat dari daun kelapa yang sudah dianyam dan berbentuk topi (piramida). Proses pengukusan biasanya berlangsung antara 20 sampai 30 menit. Pengukusan biasanya baru selesai setelah didapatkan tanda-tanda yang dilihat dari uap yang keluar. Atau sudah dipastikan ubi yang dikukus telah menyatu dan telah berubah warna. Perubahan warna biasanya dari putih ke warna agak kekuning-kuningan.

Referensi Saya :
  • http://fitinline.com/article/read/7-ragam-pakaian-adat-buton
  • https://iqbalizati.wordpress.com/2012/07/16/upacara-adat-masyarakat-buton/
  • http://indotravelguides.com/top-destination/benteng-keraton-wolio-buton-sulawesi-tenggara/

Yuk Baca yang lain:

Kebudayaan Bugis

Kebudayaan Suku Bugis

Suku Dunia ~ Suku Bugis terkenal dengan suku perantau yang tersebar ke beberapa wilayah di Indonesia. Suku Bugis atau to 'Ugi merupakan suku asli di tanah Sulawesi khususnya di Sulawesi Selatan. Suku Bugis adalah suku yang sangat menjunjung tinggi harga diri dan martabat. Suku ini sangat menghindari tindakan-tindakan yang mengakibatkan turunnya harga diri atau martabat seseorang. Jika seorang anggota keluarga melakukan tindakan yang membuat malu keluarga, maka ia akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang ini. Tidak ada lagi keluarga yang tega membunuh anggota keluarganya hanya karena tidak ingin menanggung malu dan tentunya melanggar hukum. Sedangkan adat malu masih dijunjung oleh masyarakat Bugis kebanyakan. Walaupun tidak seketat dulu, tapi setidaknya masih diingat dan dipatuhi.

Adat Suku Bugis


Upacara perkawinan dalam suku Bugis disebut Mappabotting sementara itu istilah perkawinan dalam suku bugis disebut siala yang mempunyai arti saling mengambil satu sama lain. Perkawinan adalah ikatan timbal balik antara dua manusia berlainan jenis kelamin untuk menjalin sebuah hubungan kekeluargaan. Istilah perkawinan dalam suku Bugis juga bisa disebut mabinne berarti menanam benih, maksudnya menanam benih dalam kehidupan rumah tangga.

Rumah Adat Suku Bugis


Rumah bugis memiliki keunikan tersendiri, dibandingkan dengan rumah panggung dari suku yang lain (Sumatera dan Kalimantan). Bentuknya biasanya memanjang ke belakang, dengan tambahan disamping bangunan utama dan bagian depan (orang bugis menyebutnya lego-lego). Tiang utama (alliri). Biasanya terdiri dari 4 batang setiap barisnya. Jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat. Tetapi pada umumnya, terdiri dari 3/4 baris alliri. Jadi totalnya ada 12 batang alliri. Fadongko’, yaitu bagian yang bertugas sebagai penyambung dari alliri di setiap barisnya. Fattoppo, yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait paling atas dari alliri paling tengah tiap barisnya. Mengapa orang bugis suka dengan arsitektur rumah yang memiliki kolong ? Konon, orang bugis, jauh sebelum Islam masuk ke tanah bugis (tana ugi’), orang bugis memiliki kepercayaan bahwa alam semesta ini terdiri atas 3 bagian, bagian atas (botting langi), bagian tengah (alang tengnga) dan bagian bawah (paratiwi). Mungkin itulah yang mengilhami orang bugis (terutama yang tinggal di kampong).

Pakaian Adat Suku Bugis


Baju Bodo adalah pakaian adat suku Bugis dan diperkirakan sebagai salah satu busana tertua di dunia. Perkiraan itu didukung oleh sejarah kain Muslim yang menjadi bahan dasar baju bodo. Jenis kain yang dikenal dengan sebutan kain Muslin (Eropa), Maisolos (Yunani Kuno), Masalia (India Timur), atau Ruhm (Arab) pertama kali diperdagangkan di kota Dhaka, Bangladesh. Hal ini merujuk pada catatan seorang pedagang Arab bernama Sulaiman pada abad ke-19. Sementara pada tahun 1298, dalam buku yang berjudul “The Travel of Marco Polo”, Marco Polo menggambarkan kalau kain Muslim dibuat di Mosul (Irak) dan diperdagangkan oleh pedagang yang disebut Musolini.

Namun kain yang ditenun dari pilinan kapas yang dijalin dengan benang katun ini sudah lebih dahulu dikenal oleh masyarakat Sulawesi Selatan, yakni pada pertengahan abad ke-9, jauh sebelum masyarakat Eropa yang baru mengenalnya pada abad ke-17, dan populer di Perancis pada abad ke-18. Kain Muslim memiliki rongga-rongga dan jarak benang-benangnya yang renggang membuatnya terlihat transparan dan cocok dipakai di daerah tropis dan daerah-daerah yang beriklim panas.

Sesuai dengan namanya “bodo” yang berarti pendek, baju ini memang berlengan pendek. Dahulu Baju Bodo dipakai tanpa baju dalaman sehingga memperlihatkan payudara dan lekuk-lekuk dada pemakainya, dan dipadukan dengan sehelai sarung yang menutupi bagian pinggang ke bawah badan. Namun seiring dengan masuknya pengaruh Islam di daerah ini, baju yang tadinya memperlihatkan aurat pun mengalami perubahan. Busana transparan ini kemudian dipasangkan dengan baju dalaman berwarna sama, namun lebih terang. Sedangkan busana bagian bawahnya berupa sarung sutera berwarna senada.

Kesenian Suku Bugis


Kesenian dari suku Bugis yang terkenal adalah Tari Paduppa Bosara. Tari Padupa Bosara merupakan sebuah tarian yang mengambarkan bahwa orang bugis kedatangan atau dapat dikatakan sebagai tari selamat datang dari Suku Bugis. Orang Bugis jika kedatangan tamu senantisa menghidangkan bosara sebagai tanda kehormatan.

Peninggalan Suku Bugis


Bissu adalah pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Bissu dalam kebudayaan Bugis adalah manusia hermafrodit yang mana secara anatomis adalah laki-laki namun dalam berbusana merupakan kombinasi antara karakteristik laki-laki dan perempuan. Seorang bissu dapat membawa Badik (pisau khas Bugis) yang milik laki-laki, namun mengenakan bunga di kepalanya yang bermodel rambut perempuan. Dalam kebudayaan Bugis, dikenal 4 gender plus gender kelima yaitu ‘para-gender’. Selain laki-laki-pria (oroane) dan perempuan-wanita (makunrai) dikenal pula calalai, secara biologis perempuan namun berperan dan berfungsi sebagai laki-laki. Lalu ada calabai, secara biologis laki-laki namun berperan dan berfungsi sebagai perempuan. Gender kelima yaitu bissu, yang telah dijelaskan sebelumnya.

Makanan Khas Suku Bugis


Salah satu makanan khas dari suku Bugis ialah Buras atau biasa disebut juga burasa. Buras sebenarnya tidak jauh berbeda juga dengan olahan berbahan dasar beras lainnya, seperti halnya Ketupat. Apa lagi, Ketupat sudah menjadi tradisi juga yang harus disajikan saat hajatan khusus keluarga dan hari-hari besar keagamaan tiba. Bahkan, memakan Ketupat juga wajib dengan campuran kari ayam, daging, dan telur. Akan tetapi, rasa Buras yang sangat berbeda dengan Ketupat. Karena Buras dimasak khusus dengan campuran santan. Makanya saat Buras dicicipi berasa gurih dan aromanya yang begitu khas. Buras sendiri, oleh sejumlah orang-orang Suku Bugis memakannya dengan beberapa campuran makanan lainnya. Seperti kari ayam, daging, dan telur. Tiga campuran makanan ini harus wajib disediakan menemani Buras saat hajatan keluarga digelar.

Referensi Saya :
  • http://www.artikelbagus.com/2012/03/bissu-peninggalan-bugis-kuno.html#ixzz3lsY1OHMM
  • http://daradaeng.com/kesenian-dan-khas-budaya-sulawesi-selatan.html#ixzz3lsWVgSKw
  • http://www.indonesiakaya.com/kanal/detail/baju-bodo

Yuk Baca yang lain: