Appa’bunting dalam bahasa Makassar berarti melaksanakan upacara perkawinan. Sementara itu, istilah perkawinan dalam bahasa bugis disebut siala yang berarti saling mengambil satu sama lain. Dengan demikian perkawinan adalah ikatan timbale balik antara dua insan yang berlainan jenis kelamin untuk menjalin sebuah kemitraan. Istilah perkawinan dapat juga disebut siabbineng dari kata bine yang berarti benih padi. Dalam tata bahasa bugis, kata bine jika mendapat awalan “ma” menjadi mabbine berarti menanam benih. Kata bine atau mabbine ini memiliki kedekatan bunyi dan makna dengan kata baine (istri) atau mabbaine (beristri). Maka dalam konteks ini, kata siabbineng mengandung makna menanam benih dalam kehidupan rumah tangga.
Menurut pandangan orang Bugis-Makassar, perkawinan bukan sekedar menyatukan dua mempelai dalam hubungan suami istri, tetapi perkawinan merupakan suatu upacara yang bertujuan untuk menyatukan dua keluarga besar yang telah terjalin sebelumnya menjadi semakin erat atau dalam istilah orang Bugis disebut mappasideppemabelae atau mendekatkan yang sudah jauh. Oleh karena itu, perkawinan di kalangan masyarakat Bugis umumnya berlangsung antar keluarga dekat atau antar kelompok patronasi (endogami), terutama di kalangan masyarakat biasa, karena mereka sudah saling memahami sebelumnya.
Keterlibatan orang tua dan kerabat dalam pelaksanaan pesta perkawinan tidak dapat diabaikan. Mereka tetap memegang peranan sebagai penentu dan pelaksana dalam perkawinan anak-anaknya, plilhan pasangan hidup bukanlah urusan pribadi, namum merupakan urusan keluarga dan kerabat. Untuk itulah, perkawinan perlu dilakukan secara sungguh-sungguh menurut agama dan adat yang berlaku di dalam masyarakat. Alasan lain orang Bugis-Makassar harus mengadakan pesta perkawinan adalah karena hal tersebut sangat berkaitan dengan status sosial mereka dalam masyarakat. Semakin meriah sebuah pesta, semakin mempertinggi status sosial seseorang.
Menurut pandangan orang Bugis-Makassar, perkawinan bukan sekedar menyatukan dua mempelai dalam hubungan suami istri, tetapi perkawinan merupakan suatu upacara yang bertujuan untuk menyatukan dua keluarga besar yang telah terjalin sebelumnya menjadi semakin erat atau dalam istilah orang Bugis disebut mappasideppemabelae atau mendekatkan yang sudah jauh. Oleh karena itu, perkawinan di kalangan masyarakat Bugis umumnya berlangsung antar keluarga dekat atau antar kelompok patronasi (endogami), terutama di kalangan masyarakat biasa, karena mereka sudah saling memahami sebelumnya.
Keterlibatan orang tua dan kerabat dalam pelaksanaan pesta perkawinan tidak dapat diabaikan. Mereka tetap memegang peranan sebagai penentu dan pelaksana dalam perkawinan anak-anaknya, plilhan pasangan hidup bukanlah urusan pribadi, namum merupakan urusan keluarga dan kerabat. Untuk itulah, perkawinan perlu dilakukan secara sungguh-sungguh menurut agama dan adat yang berlaku di dalam masyarakat. Alasan lain orang Bugis-Makassar harus mengadakan pesta perkawinan adalah karena hal tersebut sangat berkaitan dengan status sosial mereka dalam masyarakat. Semakin meriah sebuah pesta, semakin mempertinggi status sosial seseorang.
0 Response to "Adat Perkawinan Suku Bugis-Makassar"
Posting Komentar